[Movie] Pendekar Tongkat Emas (2014)


Pendekar Tongkat Emas
(2014 - Miles Films/KG Studio)

Directed by Ifa Isfansyah
Written by Jujur Prananto, Ifa Isfansyah, Mira Lesmana, Seno Gumira Ajidarma
Produced by Mira Lesmana
Cast: Eva Celia, Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Tara Basro, Christine Hakim, Aria Kusumah, Whani Dharmawan, Slamet Rahardjo, Landung Simatupang, Prisia Nasution, Darius Sinathrya


Pengetahuan gw soal "cerita silat" sangatlah terbatas. Konon katanya dulu Indonesia marak dengan cerita novel/komik dengan genre yang bisa dibilang versi Indonesia dari wuxia/cerita kung-fu itu, seperti Panji Tengkorak, Si Buta dari Goa Hantu, dan Wiro Sableng. Beberapa sempat diangkat jadi sandiwara radio, film, atau sinetron. Kecuali sinetron Wiro Sableng di tahun 1990-an yang pake theme song lagu rap yang sangat catchy itu, gw sebenarnya kurang terekspos sama genre ini...untuk Indonesianya. Karena rupanya gw lebih banyak tumbuh sama cerita silat asal China...err...Tiongkok (pakai ini dulu deh sampe nantinya akan muncul lagi sebutan yang lebih bikin nggak tersinggung =_=;) di TV macam Condor Heroes dan lanjutan-lanjutannya yang ada di universe yang sama, dan tentu saja Kera Sakti, hehe. Ular Putih sama Putri Huan Zhu nggak termasuk ya =p.

Nah, perlu diingat bahwa cerita silat isinya bukan cuma orang berantem. Basically ini emang tentang orang berantem, tetapi cerita silat yang gw tahu sifatnya lebih berupa petualangan. Lebih banyak porsi perselisihan dalam bentuk intrik dramatis, perebutan sesuatu (benda, status, kehormatan) oleh beberapa pihak, plus bumbu kejar-kejaran dan cari-carian, yang kemudian menghasilkan pertarungan. Makanya, ketika gw lihat bahwa Pendekar Tongkat Emas dibuat oleh para sineas yang belum pernah menggarap cerita sejenis, gw tidak mengekspektasi film ini bakal jadi seseru The Raid, misalnya, karena memang sangat berbeda. Dan, jujur, dari trailer-nya saja gw nggak terlalu yakin bahwa film ini bakal seru adegan pertarungannya. Makanya, dari situ gw tidak berharap yang enggak-enggak. Melihat nama Ifa Isfansyah hingga pengarang tersohor Seno Gumira Ajidarma, gw justru berharap this film better have a good story, karena unsur itulah yang justru membuat genre ini menarik diikuti. 

And, folks, that's exactly what I got. Gw melihat bahwa cerita Pendekar Tongkat Emas disusun dengan solid dan dituturkan dengan baik. Segala hal yang bisa disebut sebagai homage genre silat disajikan dengan oke di sini. Formulanya padahal klasik: ada iri dengki, ada soal guru silat dan murid-muridnya, ada perebutan benda sakti, lalu ada juga tokoh yang ilmunya lemah dipaksa untuk tumbuh jadi kuat--which brings us to the ever-fun latihan jurus-jurus silat sequences. Dengan penyusunan bahasa yang indah tapi nggak sok canggih *uhuk* *ngomongin film apa ya?*, film ini menuturkan kisah klasik soal dendam dan perebutan benda sakti dan status terkuat dengan rapi, bikin gw nggak perlu lagi mempertanyakan ini itu, semua jelas. 

Artinya juga, film ini berhasil menarik gw untuk mau mengikuti "aturan" di dunia antah berantah ini. Mulai dari posisi para pendekar (entah penjaga keamanan desa atau debt collector =D), pendekar yang sakti selalu akan mendapat tantangan, code of honor dijaga dewan sepuh pendekar (udah macam Naruto aja itu), juga kultur mengambil anak dari musuh yang dibunuh sebagai murid, mungkin sebagai penebusan. Intrik pengkhianatan, dusta, juga bagaimana tindakan satu orang mempengaruhi *literally* dunia persilatan hanya karena ego dan kebetulan ilmunya kuat, bisa gw terima dengan puas tanpa komplain. Gw sendiri sangat kesemsem dengan konklusi film ini yang menekankan apa yang selama ini jadi inti cerita-cerita silat: dunia kekerasan (persilatan) nggak kenal kata hidup tenteram, setenang apapun keadaan yang terlihat.

That being said, karena ceritanya gw suka, dan karena menurut gw cerita adalah unsur yang paling penting dalam sebuah film, gw merasa Pendekar Tongkat Emas adalah film bagus. Tapi, gw sadar, untuk membuat film yang bagus, butuh lebih dari cerita yang bagus. Nah, Pendekar Tongkat Emas ini sebenarnya punya unsur pendukung yang bagus, tetapi memang belum mendekati sempurna. Dialog nggak masalah, akting sangat tidak masalah--Nicholas cool, Reza ngeselin, Christine keren abis, dan Whani Dharmawan "drama silat" banget, koregrafi pertarungan masih bisa gw terima, musik dan kostum pun gw suka sekali (oh musiknya adalah salah satu tata musik paling keren dan recognizable di sinema Indonesia in recent time). Tetapi ada satu yang kurang buat gw, yaitu yang gw takutkan dari sejak menonton trailer-nya: film ini kurang "rame" secara visual. 

Dalam pandangan mata gw, film ini terlalu banyak space kosong (ditambah sela gambar-gambar pemandangan yang keseringan) sehingga kesannya kurang grand, sepi sekali untuk sebuah film yang diketahui berbiaya mahal. Bisa jadi, ini disebabkan pilihan setting desa ke desa, yang orang-orangnya (terlalu) sedikit dan bentuk bangunannya sangat sederhana--even perguruan Sayap Merah dengan panggung spektakuler ring tarungnya. Mungkin saja ini adalah pilihan artistik secara sadar bahwa ini adalah dunia yang masih belum, let's say, "maju" peradabannya, masih pake hukum bunuh-atau-dibunuh, dan penduduknya bahkan tidak sebanyak rumah Eyang Subur. Belum ada perkotaan, dan mobilitas antar wilayah juga sangat jarang sampai-sampai tidak ada jalan setapak yang menandakan bergeraknya perekonomian dunia itu *yaelaaaah ribet amat mikirnye =p*. I know, it's nice to see nature in its untouched condition, tapi efeknya bisa berbalik bahwa dunia yang diperlihatkan jadi kurang believable secara visual, seakan tokoh-tokohnya tidak "tinggal" di situ, kelihatan kurang menyatu dengan lingkungannya. Gw juga membayangkan visual film ini mungkin akan lebih rich jika disyut pake film seluloid, dan mungkin jadi lebih engaging (dan slow motion-nya nggak perlu patah-patah macam Roaring Currents, itu teknik yang kurang gw sukai) karena menambah kesan fantasinya. Mungkin ya.

Tetapi, gw sendiri memilih tidak mau diganggu oleh hal-hal seperti itu. Gw telanjur terlena sama ceritanya yang oke sehingga gw nggak mau dipusingan sama beberapa kekurangannya. Well, dari segi penyajian memang agak tersandung ketika Dara (Eva Celia) minta dijadiin muridnya Elang (Nicholas Saputra) yang menurut gw datar banget cing.....Well, okay, menurut gw karakterisasi dari Dara keseluruhan emang kurang seimbang sama yang lain. Menurut gw, dia terlalu kalem untuk jadi underdog. At least kasihlah dia sedikit personality yang lebih berwarna. Tokohnya Elang, Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), dan bahkan Angin (Aria Kusumah) udah dibuat cool, agak too much kalau Dara juga didesain serupa seperti itu. Mungkin emang mood filmnya pengen dibikin "sangat serius" seperti itu, ya terserah, nggak jelek juga sih.

Untunglah, Pendekar Tongkat Emas menyimpan amunisi yang sangat oke di pertarungan pamungkas yang ditata baik. Yah minimal memuaskan gw. Awalnya agak slow tetapi makin lama makin cepat dan intens dan menimbulkan keseruan yang efektif. Tidak bisa dibilang great, karena apa pun adegan pertarungan yang muncul setelah film The Raid memang akan tampak hmmmm *puter-puter tangan sambil memicingkan mata*. Tetapi, penataan dan effort-nya di sini nggak mengecewakan juga. Namun, kata "nggak mengecewakan" itu sangat tergantung pada apa yang diharapkan sebelum menonton film ini. Gw sih nggak berharap banyak, makanya gw nggak terlalu dikecewakan. Malahan, di luar dugaan gw pendekatan dramatis--instead of full action--dari film ini terbilang apik. 

Satu hal lagi yang gw dapat dari film ini, adalah dorongan untuk menonton lagi. Sepertinya, terlepas dari bagaimanapun eksekusinya, gw sangat tertarik dengan gagasan dunia Pendekar Tongkat Emas ini (seperti gw suka gagasan dunia Star Wars tapi nggak yakin film mana yang terbagus). Dan, kalau Tuhan berkehendak film ini ada sekuelnya, gw akan sangat menantikannya. Gw ingin lebih jauh menjelajahi dunia persilatan rekaan Miles ini, gw ingin lebih banyak melihat karakter-karakter bernama puitis dan berkostum lucu di sana. Tidak memuaskan secara paripurna, tetapi film ini tetap berhasil menransfer dan bikin gagasannya gentayangan di benak gw. Itu artinya, film ini punya sesuatu. That's good.





My score: 7,5/10

Komentar

  1. Sejujurnya agak kecewa sama PTE.. Mungkin karena ekspektasi gwe ketinggian ya 6^^
    Dari cerita ada beberapa haL yang bikin gwe bereaksi "Eh? Kok gitu?" and I couLdn't care Less about the characters (but Angin and Gerhana).
    SoaL adegan tarung sih dimakLumi Lah. Kostum & musik, Lima jempoL!

    BalasHapus
    Balasan
    1. kayaknya gw tahu apa yang bikin sedikit "mengecewakan"...karena udah sempet nonton Kenshin =D.

      Hapus

Posting Komentar