[Movie] What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013)


What They Don't Talk About When They Talk About Love
a.k.a. Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta
(2013 - Cinesurya Pictures/Amalina Pictures)

Written & Directed by Mouly Surya
Produced by Rama Adi, Tia Hasibuan, Fauzan Zidni, Ninin Musa
Cast: Karina Salim, Ayushita Nugraha, Nicholas Saputra, Anggun Priambodo, Lupita Jennifer, Jajang C. Noer, Tutie Kirana, Khiva Iskak


Dari segi mana pun, kesan yang terpancar dari What They Don't Talk About When They Talk About Love adalah "wih pasti aneh nih". Judulnya panjang bangeut, pake bahasa enggris, apalagi sebelumnya menjadi film Indonesia pertama yang masuk kompetisi di Festival Film Sundance 2013 di Amerika Serikat—festival film independen terkemuka dunia, kesan "film festival yang sulit dicerna" pun semakin nempel. Honestly, film ini memang bukan tipe crowd-pleasing, butuh kesabaran dan niat tulus untuk menontonnya, bukannya sekadar sebagai selingan. Tetapi jika melesapkan semua kecurigaan dan harapan yang enggak-enggak, film ini sendiri nyatanya sebuah karya yang manis, heartfelt, dan orisinal. Gw malah merasa film ini salah satu yang paling orisinal yang pernah gw tonton. Intinya, film ini tidak boleh dilewatkan begitu saja, lagipula nggak se-aneh itu kok. Dan gw selanjutnya akan merujuk film ini sebagai "film ini" saja, karena judulnya kepanjangan, dan singkatan resminya (Don't Talk Love/Tidak Bicara Cinta) rasanya kurang mencakup, jadi ya udahlah ya.

Film ini hendak bercerita tentang cinta antar remaja usia SMA di sebuah Sekolah Luar Biasa di Jakarta, dalam hal ini SLB untuk penyandang tunanetra (istilahnya SLB A *abis ngewiki*). Ada Diana (Karina Salim) yang dari keluarga berada mengalami cinta pertamanya dengan teman sekelasnya, Andhika (Anggun Priambodo). Lalu ada Fitri (Ayushita Nugraha, iya, Ayushita yang dulu poninya bentuk lope-lope itu), yang gemar dengan kisah supranatural, menemukan cintanya dengan "hantu dokter", yang sebenarnya adalah manusia bernama Edo (Nicholas Saputra), anak ibu warung dan penghuni lingkungan SLB (Jajang C. Noer). Kedua kisah ini akan biasa banget bila kita melupakan bahwa Diana itu penyandang low-vision—bisa melihat hanya dari jarak deket banget/nempel muka, Andhika dan Fitri penyandang tunanetra total, dan Edo si anak punk tunarungu. Dalam keadaan masing-masing, proses mereka menemukan cinta itu tentu tidak biasa. Bagaimana Diana bisa menarik perhatian Andhika tanpa saling lihat-lihatan dulu? Bagaimana Edo yang tak bisa bicara dan mendengar menyampaikan perasaannya kepada Fitri yang tidak bisa melihat? Penggambaran proses inilah yang bagi gw menjadikan film ini unik, karena gw belum pernah menyaksikan yang seperti ini. Begitu telaten dan detil, dan tetap bikin senyam-senyum saking manisnya.

Dengan setting, karakter, serta fokus penceritaan, sebenarnya gampang saja menangkap apa yang mau disampaikan sutradara dan penulis Mouly Surya lewat film bioskop keduanya sejak Fiksi. (2008) ini. Bahwa meski memiliki kekurangan fungsi fisik, mereka sama kok kayak umumnya remaja, caranya aja yang beda. Mereka punya segala kesukaan dan kemauan, dan labil, hanya saja perlu cara tersendiri untuk menyampaikan dan memenuhinya. Bandel-bandelnya juga nggak jauh beda sama yang anak-anak yang fisiknya berfungsi lengkap. Diana-Andhika adalah contoh cinta monyet paling standar, innocent, pula jenaka, menyaksikan kisah mereka adalah bagian menghibur dalam film ini. Fitri-Edo adalah versi nakalnya, yang digerakkan oleh gejolak nafsu kawula muda, namun tak kalah romantisnya. Keberhasilan film ini bukan untuk mengajak mengasihani keadaan tokohnya, tetapi membawa penonton (setidaknya gw) untuk benar-benar memandang segala sesuatu dari sudut pandang mereka, yang sudah sampai pada tahap nyaman dan santai saja dengan kehidupannya sekalipun fungsi inderanya tidak lengkap.

Memang seakan-akan tokoh-tokoh ini seperti steril dari keadaan sosial lebih luas, hanya berkutat pada lingkungan SLB (ada asramanya) yang fasilitasnya relatif cukup baik, tetapi mungkin memang sejauh itulah dunia mereka di usia ini, belum saatnya mengkhawatirkan hal yang lain-lain. Persentuhan tokoh-tokoh ini dengan dunia luar digambarkan minim, paling hanya diwakili Maya (Lupita Jennifer) si remaja ngartis penggemar rainbow cake yang sering mampir dan ikut kegiatan di SLB, atau Edo yang beli rokok di 7-Eleven, atau pacar Fitri yang sehat-lahir-tapi-batin-belum-tentu (Khiva Iskak) yang kerap memanfaatkan Fitri demi isi celananya. Namun, film ini tidak membahas tentang pembedaan anak-anak penyandang cacat dengan yang bukan, tidak juga bertitikberat pada perlakuan yang mereka dapatkan dari masyarakat. Film ini hanya bicara, emmm, cinta. Sesederhana itu. Ditambah dengan sebuah segmen "what-if" yang jujur agak mengejutkan dan membingungkan, gw malah semakin jelas menangkap bahwa yang ingin disampaikan mbak Mouly ketika membuat kisah cinta antar remaja dengan disabilitas ini adalah penekanan pada cinta remajanya, bukan semata-mata soal disabilitasnya. Artinya—sekalipun tentu menyematkan misi awareness—film ini hanya mau bercerita tentang cinta "biasa" milik anak-anak remaja luar biasa ini, bukan mengeksploitasi dengan haru biru apalagi merendahkan. Tentang kehidupan normal, but different version of normalAnd I think she did it brilliantly.

Konsep dan pengisahan yang brilian itu pun semakin memukau dengan presentasinya yang sangat cantik ciamik joss gandhos. Dengan kisah yang visioner dan orisinal seperti ini, aspek lain pun melengkapi dengan eloknya. Production design-nya terlihat apa adanya namun sangat teliti dan berfungsi, pun tata sinematografinya begitu menggoda iman saking kerennya, bahkan dari shot paling awal dengan angle-angle artistik. Presentasinya visual begitu artsy, melengkapi tata adegannya yang panjang-panjang dan, well, banyak yang akan menganggapnya lamban (contohnya ngitung 70 sampe 100 sambil sisiran tanpa cut =p), jarang dialog pula. Tetapi anehnya gw selalu merasa ada yang menarik untuk disaksikan di layar. Menyaksikan sebuah proses kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kita secara seksama itulah yang berhasil membawa gw masuk ke dalam dunia plus jalan pikiran Diana cs. Tambahkanlah itu dengan tata suara yang fungsional, penyuntingan yang nggak nyiksa, musik yang cantik, bahkan pemilihan lagu-lagu soundtrack yang tak sembarang ("Nurlela"-nya Bing Slamet itu highlight), dan tentu saja kunci pentingnya ada di performa aktor yang nyaris tanpa cela. Akting mereka di sini, terutama empat tokoh utama kita, bukan cuma soal memerankan tokoh dengan disabilitas, namun juga penyampaian emosi ala anak-anak remaja yang genuine dan mengundang empati. Perihal ini, predikat istimewa versi gw akan diberikan pada Karina Salim yang innocence-nya begitu believable, dan Nicholas Saputra yang selalu handal dan terpercaya kualitasnya. 

Yah terserah mau dibilang sok nyeni atau apalah, tetapi buat gw film ini adalah film yang luar biasa. Benar, ini sebuah film art, jenis yang kerap "ditakuti" khalayak umum. Penuturan dan kemasannya memang agak lain dari yang lain, tetapi bila mau bersabar, maka efek menyenangkan seusai menontonnya pasti didapat jua. Ini kisah(-kisah) cinta yang manis, dan semakin manis karena film ini memaparkan cara merajut cinta yang sangat jarang terlihat atau terpikirkan oleh sebagian besar orang, yang disampaikan melalui bahasa gambar yang teliti tak banyak omong. Lewat film ini, mbak Mouly membuktikan bahwa kualitas kerjanya di film Fiksi. yang cermat dan "sakit" itu (dan berbuah 4 piala Citra FFI 2008) bukanlah kebetulan, bahkan kalau jujur film ini melebihi ekspektasi gw berdasarkan film tersebut. I thought it was going to be too weird and distant. Gw justru melihat film ini lebih cermat, lebih indah, lebih pas dengan pacing-nya yang slow, dan lebih terasa emosinya lewat caranya membangun tiap-tiap karakter dengan perlahan. Senyum yang tersungging di muka gw di hampir sepanjang film dan sesudahnya adalah buktinya. Film yang unik dan cantik, sekaligus memberi suka hati dengan caranya sendiri. Film istimewa ya kayak gini ini.




My score: 9/10

Komentar

  1. Bang Reino, entah apa aku yang kurang paham/aku yang salah menilai, akhir-akhir ini banyak review bang Reino, memberi nilai yang baik bagi film-film Indonesia. Bahkan banyak yang melebihi nilai-nilai film-film Hollywood, memang sebegitu bagusnya kah Film Indonesia?

    Apakah itu dapat dijadikan parameter yang menandakan film-film Indonesia semakin berkualitas?
    Walau saya amat jarang melihat film2 Indonesia kecuali punyanya Bang Djoko Anwar, saya kok merasa 'agak' kurang yakin dengan penilaian film-film Indonesia yang bisa mengimbangi, bahkan melebihi nilai-nilai Film Hollywood

    Sekali lagi, ini perasaan saya, AFAIK, kan film2 Indonesia kualitasnya masih jauuh di bawah Hollywood
    Last, saya bukan mau 'menghakimi' penilaian Bang Reino, tetapi sekadar ingin memahami dan mengerti tentang perfilman, dalam konteks ini Film Indonesia, kepada pemerhati film sepengalaman anda.....
    Mohon pencerahannya , thanks..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear Berto09,
      Saya bikin poin2 ya

      1. Faktanya memang akhir2 ini saya banyak memberi nilai baik pada film2 Indonesia, tapi nggak selalu.

      2. Nah kalo boleh saya balik tanya, kenapa patokannya harus film Hollywood? Apakah semua film Hollywood PASTI bagus dan Indonesia PASTI jelek? Apakah patokan film bagus itu harus ada ledak-ledakan, tembak-tembakan, efek visual, dan aktornya mesti bule? Apakah Anda akan bilang Renee Zellweger itu lebih cantik daripada Acha Septriasa hanya karena dia bule? Transformers 2 itu film Hollywood dan menurut saya itu film jelek banget dan buang2 uang. Buat saya, syarat utama "film bagus" adalah cerita dan penceritaannya. Kalau menurut saya bagus, ya pasti saya kasih nilai bagus.

      3. parameter yang menandakan film-film Indonesia semakin berkualitas?
      Kalau memang hal ini tergantung pada penilaian saya, jawabannya YA. Dan rasanya banyak yang berpendapat sama dengan saya. Alasannya bisa dilihat di postingan khusus film Indonesia yang saya buat akhir tahun 2012 lalu. Bukan "semakin berkualitas" juga sih istilahnya, tapi "semakin BANYAK yang berkualitas baik". Dari dulu juga ada lah film Indonesia berkualitas, tetapi tidak sebanyak akhir2 ini.

      4. Anda menyatakan jarang mengikuti film Indonesia kecuali dari Joko Anwar. Saya rasa ini soal selera. Anda kayaknya sangat tertarik pada film berproduction value "mahal" (ada visual efek, lokasi eksotis, gambar2 mencekam dsb), yang banyak ditemukan pada film Hollywood. Tapi perlu diingat, film Modus Anomali atau The Raid punya production value luar biasa. Skalanya mungkin lebih kecil, tetapi jelas sanggup menimbulkan dampak yang sama serunya dengan film2 sejenis dari Hollywood.
      Asal tahu saja, seiring perjalanan waktu, film-film Indonesia bergerak semakin maju dalam kualitas teknis/production valuenya.

      Tetapi lagi-lagi ini subjektif, kalau mau tahu pastinya ya tidak ada jalan lain selain BUKTIKAN SENDIRI. Anda bilang sendiri jarang menonton film Indonesia. Kenapa begitu? Bagaimana bisa tahu kualitasnya kalau tidak mengalami sendiri?

      *bersambung*

      Hapus
    2. 5. Anda bilang "kan film2 Indonesia kualitasnya masih jauuh di bawah Hollywood"?
      Ini adalah pernyataan yang, terus terang saja, menyedihkan. Sudah sejauh mana penelitian Anda hingga sampai pada kesimpulan ini? Apakah semua film Indonesia dan semua film Hollywood sudah Anda tonton sehingga bisa membandingkan sekeras ini? U di kata "jauh"-nya ada dua lagi. Atau pertanyaan paling mendasar: definisi "kualitas" tuh apa sih? Ini kembali lagi ke poin nomer 2 dan 4.

      6. Setiap film ada karakteristik tersendiri, dan penilaiannya juga harus dengan kriteria berbeda-beda. Saya nggak bisa membandingkan film drama sejarah dengan fiksi ilmiah. Itu seperti mempertandingkan anak IPA dan IPS dalam lomba matematika. Nggak adil. Lagian siapa bilang anak IPS pasti kalah? Sama juga dengan Indonesia vs Hollywood yang Anda "persoalkan" di sini, sesungguhnya ada kriteria masing-masing. Yah kalau mau sederhana saya biasanya membandingkan film Hollywood dengan sesamanya, dan film Indonesia dengan sesamanya.

      7. Berarti saya juga membuat pembedaan asal negara? Nggak juga. Sama-sama action tak berotak, saya tetap lebih suka The Raid (7,5) yang fresh menyatukan laga modern dengan silat daripada The Expendables (6) yang hanyalah pengulangan film-film lawas yang sering tayang di TV-TV (walaupun tetap seru).
      Bila Argo saya kasih 8 dan Don't Talk Love ini saya kasih 9, apakah berarti Argo lebih jelek? Tergantung dari sudut mana menilainya. Argo itu film thriller sejarah. Kalau saya mau membandingkan, maka dia belum lebih baik dari Schindler's List, Zodiac atau United 93, ketiga film ini saya kasih nilai 9.
      Don't Talk Love ini film "nyeni" tentang cinta remaja dengan disabilitas, saya kasih 9 karena saya belum pernah nonton film seperti ini, nggak ada pembandingnya, dan lagipula saya sangat terkesan dan merasa "wow" dengan kisah yang dibawakan film ini, alasan yang sama juga dengan Cloud Atlas yang juga saya beri 9.
      Adakah film Indonesia lain yang saya beri nilai 9? Sejauh ini ada dua tetapi belum saya ulas di blog ini: Kala dan Opera Jawa.

      8. Nilai yang saya beri di setiap ulasan film bukanlah "nilai filmnya", tetapi lebih ke "tingkat kesukaan saya terhadap film itu". Sekali lagi ditekankan: ini SUBJEKTIF. Seperti saya singgung di halaman "ABOUT THIS BLOG", itu hanya perkiraan saja. 8 itu yang saya sukai, 5 itu tidak saya sukai, 9 itu istimewa dan seterusnya.
      Lagipula sebaiknya JANGAN HANYA MELIHAT SKOR/NILAINYA SAJA. Pastikan juga Anda membaca isi ulasannya agar mendapat gambaran lebih jelas bagaimana penilaian saya terhadap film tersebut, menurut saya itu justru lebih penting daripada angka/bintang.

      9. Oh ketinggalan, “memang sebegitu bagusnya kah Film Indonesia?”?
      Baca ulasan saya nggak sih? Ya udah kalau memang nggak percaya sama ulasan saya kenapa juga harus ditanya lagi kayak gini? Kenapa nggak butikan saja sendiri? *ceritanya ngambek*

      10. Terakhir, jangan terpaku pada pendapat saya atau pendapat siapapun, berusahalah untuk mengandalkan pendapat sendiri. Prasangka memang susah diubah, tetapi jangan biarkan itu mengekang hati nurani. Jangan sampai suatu ketika Anda benar-benar tertarik nonton film Indonesia tapi nggak nonton karena gengsi dan takut dianggap "terbelakang" sama pergaulan Anda, nggak ada urusan itu. Jangan sampai Anda menyesal ketinggalan film yang sebenarnya berpotensi Anda sukai tetapi tidak Anda tonton hanya gara-gara persepsi yang keliru itu.

      Maaf bila ada yang kurang berkenan. Semoga bermanfaat.
      Cheers =)

      Hapus
  2. Good point, Mas Reino! I Love you pullllll dahhhhhh...... *sodorin coklat satu truk*

    *komentar tak penting* *dirajam*

    BalasHapus
  3. Ok, i got your point dude
    Just don';t be that mad..., saya terus terang terkejut, saya sama sekali tak bermaksud mendiskreditkan apapun, baik itu film Indonesia , Hollywood, atau ulasan-ulasan anda. Saya amat MENGHARGAI anda dan Indonesia
    Saya sendiri tidak ada keinginan untuk offense terhadap siapapun. Saya kan sudah bilang saya tak mau menghakimi. Saya cuma ingin berpendapat, dan bertanya kepada orang yang sudah saya anggap berpengalaman dan lebih tahu akan film. Misalnya saya berbeda pendapat pun, saya tak masalah, beda selera pun tak apa, why make it further?

    Saya kan hanya awam, yang merasa blog anda menarik, dan blog anda sering menjadi bahan anda bacaan dan masukan saya, jauh sebelum saya berkomentar hal ini. Saya kan hanya mencoba berkomunikasi lebih (Apakah kata-kata saya kurang sopan, dalam berkomentar sorry?)

    Mohon maaf, saya memang jarang melihat film-film Indonesia, tetapi bukan berarti tidak tahu. Mungkin di sini saya agak berbeda pendapat. But it's okay, makanya saya komen di blog yang cetar ini, karena seseungguhnya Bang Reino, saya peduli terhadap film-film Indonesia. Saya bahkan bangga bila film Indonesia kenyataannya semakin berkualitas. Buktinya saya suka Kala, Perahu Kertas juga.Tetapi bukan berarti saya suka film Indonesia mostly, meski saya merasakan kedekatan dan chemistry yang lebih dengan film-film lokal.

    Parameter film bagus. Saya rasa sangat relatif dan abstrak. Saya paham hal itu Bang. Saya akui saya suka sci-fi, meski saya juga suka horor, action, thriller, drama dll. Saya suka GI Joe, tetapi saya juga suka 'Benjamin Button', atau saya suka film ringan macam 'Flushed Away' tetapi di lain sisi, saya juga suka film-film Nolan.

    Soal Film Hollywood, kenapa saya beri pertanyaan seperti itu? Karena banyak orang juga pada tahu, film-film Hollywood memang jauh di atas Indonesia. (no offense, plis, lagi...). Kalau film Indonesia tak jauh dengan film-film Hollywood, mengapa Hollywood sangat mendunia, ditonton banyak orang. Atau mudahnya begini saja, kalau film Indonesia tak jauh dari Hollywood mengapa film-film Indonesia tak banyak penggemarnya seperti film-film asia lainnya yang di abroad, macam film-film Korea, Jepang, India, Thailand? Saya berkata ini, bukan karena saya benci, tetapi mengapa bila benar potensi film lokal baik, tetapi kurang dikenal di luar, layaknya film Thailand? Saya yakin orang Indonesia pun bisa (kurasa anda sepakat dengan saya, isn't?)

    Mengapa patokan saya Hollywood? (poin 5)
    Jelas, karena film-film Hollywood mendunia, digemari, banyak dicontoh, banyak ditonton orang, termasuk Bang Reino yang juga hobi nonton film-film Hollywood. Banyak film-film Hollywood yang revolusioner, berpengaruh dan dikenang sebagai film-film pelopor dan besar (sehingga ga salah lah, bila patokannya Hollywood). Msalnya seperti: King Kong, Inception, Devil's Advocate, forrest gump, Total Recall, dll. Saya minta maaf jika lagi-lagi, kata kata saya di atas menurut anda 'provokatif' dan 'menyinggung anda' (i don't meant to do that), Saya tahu diri lah, dibanding anda saya bukan apa-apa. Anda sudah lama ngeblog dan melakukan tulisan-tulisan indah. Sedangkan saya, toh baru bisa berkomentar di blog, membuat blog pun belum pernah, apalagi menulis blog?

    Nomor 6, 8 saya paham dan sepakat,

    *bersambung*

    BalasHapus
  4. Sambungan ''dikit aja

    Soal, nomer terakhir, saya terima masukan Bang Reino, tetapi sejauh ini, saya tidak merasa mudah terpengaruh hal itu. Justru saya sering 'terjun' langsung dan melihat film-film Indonesia, misalnya. Di saat, di lain tempat teman-teman saya sama sekali 'not interest' dengan film film lokal, sauya sendirian masih tertarik kok. Kalau saya terpengaruh mindset, tentu saya tidak mau menonton film-film Indonesia. Saya tahu bahwa film-film Indo yang berkualitas juga ada. Tetapi, sejauh saya nonton, saya sering kecewa dengan film Indonesia.

    Last, thanks atas komennya. Sekali lagi saya gak bermaksud apa-apa. Kepala saya tetap dingin Bang(saya rasa abang juga). Maaf, bila ada kata-kata saya yang kurang 'berkenan' dan terjadi 'kesalahpahaman' dalam penafsirannya, namanya juga belajar berkomunikasi dan menulis, (he he..). Ya, hope for the best dah, dan keep supporting film-film Indonesia, dan Bang Reino juga terus menulis review-review film, terutama Indonesia yang berkualitas...

    *cheers*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you, Berto. Sebenarnya saya senang dan berterimakasih karena ini menunjukkan Anda adalah pengunjung dan penyimak setia blog ini *terharu* *ambil tissue*.

      Saya juga mengerti sudut pandang Anda, karena dulu juga pemikiran saya kira-kira serupa. "Ah film Indonesia gitu doang". Tetapi lambat laun saya lihat sendiri perkembangan film kita ke arah yang lebih baik, terutama dari production value tadi. Sepakat, saya juga lama kelamaan sadar ada hal-hal dalam film Indonesia yang "berbicara" kepada saya yang orang Indonesia, dan itu tidak bisa didapatkan dari film luar.

      Saya mau respon sedikit tentang kenapa film Hollywood, Korea, Jepang, India, Thailand bisa lebih "terkenal" di luar negaranya. Kalau menurut saya ini bukan lagi soal kualitas, tetapi lebih kepada ranah yang tak kalah penting: pemasaran.

      Film-film Hollywood dan India adalah industri yang besar dan mapan, sudah tau kiat-kiat membuat laku sebuah film, dari hulu sampai hilir. Apalagi di India untungnya masyarakatnya yang bejibun itu memang gemar nonton film di bioskop, mereka stabil. Korea dan Thailand didukung oleh regulasi pemerintah terhadap film dalam negerinya.

      Tapi sialnya Indonesia, "industri"nya belum jelas, penonton antipati, pemerintah pun dukungannya nggak ngefek. Don't Talk Love ini bisa masuk Sundance yang adalah salah satu festival paling prestise di Amerika juga atas usaha swasta, pemerintah paling cuma kasih selamat doang. Dan sebagian besar film kita pun belum tahu cara yang jitu dalam memasarkan/promosi filmnya. Pasarnya masih labil, belum ada kiat-kiat yang pasti ampuh, belum lagi bicara soal terbatasnya jumlah dan pemerataan layar bioskop. Dan sebagainya dan seterusnya. Ini permasalahan juga sering dibicarakan oleh para pakar/pemerhati film nasional, mungkin Berto bisa cari sendiri di situs berita atau berita film.

      Tapi jangan salah. Beberapa film Indonesia diputar secara komersial lho meskipun masih sebatas negara-negara tetangga serumpun. Tetep pasar internasional kan? =P

      Wah pokoknya panjang deh kalau membahas masalah "kenapa film-film Indonesia nggak bisa sebesar negara anu", faktornya terlalu banyak dan rumit, beda negara beda masalah. Saya sendiri berharap dengan keadaan ini Indonesia di masa depan bisa mencetak orang-orang/industri film yang tahan banting. Arahnya filmnya sendiri udah bener kok, cuman pemasarannya itu yang perlu studi yang lebih panjang. Yuk tetap kita dukung terus.

      Cheers =)

      Hapus
    2. mungkin yg blm diketahui dari bang Berto09 adalah kalau film2 Indonesia sudah mulai diakui oleh dunia (walau baru beberapa). Tetapi sayangnya banyak rakyat Indonesia yg tidak tau kehebatan negaranya sendiri dan malah menganggap remeh negara sendiri. :)

      Hapus
  5. Generalisasi itu penjara. Bebaskan rasa bebaskan pikiran. Jangan mudah percaya sebelum membuktikan sendiri.

    BalasHapus
  6. Di bioskop2 udah tayang ya? Di pontianak blom ada ni! Gak sabar pengen liat. Review film nya Lola Amaria dong mas! Cinta 3 Titik itu loh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah tapi terbatas, nggak sampe 20 layar di seluruh Indonesia. mudah2an kota2 lain dapat giliran termasuk Pontianak ya.

      Cinta 3 Titik sudah saya tonton dan ulasannya sedang dalam proses, mohon ditunggu =))

      Hapus
    2. Ok deh mas! Perbanyak ulasan film nasional nya ya mas! Klo bsa skalian jadwal film2 yg bkal beredar tahun ini! Trims!

      Hapus
  7. Baru nonton! Sepakat kalau film ini diberi 9/10, Mouly bisa menyampaikan pesannya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan dalam menggarap cerita. Btw mau nanya, yang adegan diana nari balet, edo ngobrol sama fitri, dan andhika udah bisa nyetir motor itu ceritanya cuma angan-angan mereka apa gimana? Masih belom paham, pengen nonton lagi xP

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo saya, nangkepnya, itu gambaran atau pandangan cara mereka berkomunikasi atau berinteraksi yang dibuat atau dijelaskan secara normal (bersuara). Layaknya orang berkomunikasi secara biasa, merekapun punya cara untuk berinteraksi yang kalo digambarkan itu ya seperti orang mengobrol biasa seperti yang ditunjukkan di film itu saat mereka berbicara dengan suara dan bertatap muka secara biasa.

      Hapus
    2. oh, kalo itu interpretasi saya adalah gambaran "dimensi lain/alternatif" ketika keadaan mereka dibalik: Diana, Fitri, Andhika, Edo tidak punya disabilitas, sedangkan si Maya justru yg tunanetra, tapi kepribadiaannya tetep sama. Maya walau buta tetep semangat jadi artis =D, Diana tetap dimanja mama dan menantikan mens pertama dst.


      Yang bisa saya tangkep adalah, kalau mereka nggak punya disabilitas, kisah kasih mereka jadi kurang spesial: Diana sama Andhika bahkan gak saling kenal, Fitri sama Edo cepet jadian karena gombal-gombalan. Biasa banget. Efeknya, saya jadi ada perasaan lega ketika adegannya balik lagi ke SLB, untuk menyaksikan kembali kisah cinta monyet yang caranya lebih spesial, hehe. Kira-kira begitu kalau dari saya.

      Hapus
  8. Sudut pandangnya memang unik ya. Kisah cinta yang "lain" drpd yg biasa.
    Tapi ttp manis, romantis and even HOT (oh wow, adegan kolam renang.. Hahaha..)

    Acung jempol buat NicSap. Dekil dan believeable bgt.

    Sekalian nanggepin komen yg di atas, menurut gw juga adegan yg mereka silangan di Sevel itu adalah "alternate universe" dari kehidupan yg skrg.. Semacam si Edo bilang, "Seandainya gw bisu tuli, gw gak perlu dengerin lo ngomong kaya tadi. Dan gw jg gak perlu nanggepin omongan lo." Yang intinya, disabilitas mereka membuat situasi jadi sangat berbeda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yep, kira-kira begitu. HOT-nya itu tampaknya mewakili tujuan filmnya menunjukkan penyandang disabilitas pun punya hasrat-hasrat manusiawi...atau bisa juga biar lucu aja liat dua orang rupawan main "dokter-dokteran" =P

      Hapus
  9. pas nonton film ini, pertama kali kaget lihat adegan seperti yang ada di poster filmnya di atas ituh... SLB kan lingkungan sekolah yak... dan Fitri jg masih SMA. Ada seks bebas di lingkungan sekolah, oleh siswa SLB tunanetra di sekolahnya. Di suatu ruangan, di kolam renang, di kamar mandi. Dimana orang-orang lain? Dan yang membuat saya sedih dan miris, krn di SLB itu ada juga anak-anak setingkat SD yang tinggal dan bersekolah di situ. Walau ini memang film untuk Dewasa, dan walau disebutin mereka telah berumur 18 tahun, TAPI............

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi...? =)

      karena itu saya bilang di ulasan ini, si Fitri dan Edo itu adalah contoh nakalnya, orang kalau nakal pasti ada aja jalannya. Coba cek di sekolah-sekolah, yang terkenal berdisplin tinggi sekalipun, apakah semua warganya pasti baik dan turut aturan? Seks di lingkungan sekolah toh bukan hal baru. Semua orang juga tahu kalau itu nggak boleh dan nggak baik, tapi apakah berarti di SLB nggak ada? Saya pikir di situ poinnya. Bukan untuk membenarkan, tetapi untuk menunjukkan muda-mudi kaum penyandang disabilitas juga memiliki hasrat alamiah khas muda-mudi, toh mereka manusia juga. "kenakalan" Fitri dan Edo ya sama saja dengan kenakalan pasangan remaja biasa (yang inderanya lengkap) yang kerap ada di sekitar kita.

      Ke mana orang2 yang lain? jawaban gampangnya, menurut saya ya, SLB bukan penjara. orang mau keluar kamar atau ke kolam renang saat jam tidur masak dilarang. Dan soal anak SD, pengaruhnya di mana? takut mereka bakal..err..lihat? Bukankah itu sebabnya Fitri dan Edo ketemunya di kolam renang yang jauh dari tempat tinggal anak2 dan ketika subuh2 jam tidur? Lagi-lagi, orang bandel mah ada aja akalnya =)

      yah demikianlah kalau menurut saya.

      Hapus
  10. Komen-komen diatas menjawab beberapa pertanyaan saya :D tapi yang masih bingung, apa maksudnya Diana kalau *maaf* mau pakai softeks harus jumlahnya 3? Terus maksudnya tiba2 ada teater ditengah film itu apa? Terima kasih, Mas :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah, kalau itu *menurut tangkapan saya ya* adalah bayangan Edo tentang masa kecil Fitri ketika membaca surat Fitri. Edo cuma bisa membayangkan seperti sandiwara, karena Fitri kan nggak bisa menceritakan masa kecilnya dalam bentuk visual yang detil (karena nggak melihat). Sandiwaranya juga tanpa suara+pakai bahasa isyarat karena itu dari sudut pandang Edo yang tidak mengenal suara, seperti yang biasa ia saksikan di video sandiwara di kamarnya.

      kira-kira begitu kalau menurut saya =)

      Hapus
    2. Eh kalau soal pembalut, setahu saya ya karena Diana sangat menanti-nantikan menstruasi pertama, jadi dia siap sedia sama pembalut di celana2 dalamnya, tinggal dipakai. ada buat kegiatan biasa, ada yang buat tidur, dsb. Mungkin teman-teman yang wanita lebih paham =))

      Hapus
  11. Jika pemain2 utama film ini beneran tunanetra, bakalan dahsyat tuh... they're too pretty...

    Sebenarnya harapan saya thd film Indonesia di antaranya adalah jika bikin film Dewasa, carilah pemain dewasa. jika bikin film remaja, ya pemainnya remaja, dst..^^.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, itu sih tergantung kebutuhan cerita. Keuntungan dari pemain dewasa memerankan peran remaja adalah mereka pernah mengalaminya, jadi relatif lebih mengerti. Saya sih nggak masalah asal mainnya bagus.

      Hapus

Posting Komentar